.

.
Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » PERMASALAHAN HUKUM DI INDONESIA DEWASA INI HUKUM, DEMOKRASI DAN PERS

PERMASALAHAN HUKUM DI INDONESIA DEWASA INI HUKUM, DEMOKRASI DAN PERS

Posted by LINGKAR METAPHYSICS on Rabu, 31 Agustus 2011


PERMASALAHAN HUKUM DI INDONESIA DEWASA INI
HUKUM, DEMOKRASI DAN PERS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG.
Banyak devenisi tentang hukum diberikan para sarjana hukum, yang pada intinya hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan hukum yang sama bagi setiap orang Equality before the law, pada awalnya hukum diciptakan untuk menjaga masyarakat dari kewenangan penguasa, dan kemudian hukum dijadikan sebagai alat penyeimbang kehidupan didalam masyarakat, adanya pengawasan oleh hukum secara tidak langsung terhadap prilaku seseorang didalam masyarakat, disamping itu di ndonesia kita juga mengenal demokrasi, didalam demokrasi di indonesia dewasa ini kita mengenal adanya kebebasan dan kemerdekaan pers, apa itu kebebasan pers?, kebebasan atau kemerdekaan pers adalah kemerdekaan atau kebebasan media tidak pernah berarti kemerdekaan bagi media massa untuk menyiarkan informasi apapun tanpa batas, jadi aharus adanya batasan-batasan tertentu dalam hal media melaksanakan tugas penyiarannya, dalam hal ini yaitu undang-undang yang menjadi kerangka keadilan, keadilan yang berasal dari undang-undang. Hal ini terjadi semenjak reformasi tahun 1998, kebasan pers yang pada awalnya terkekang oleh pemerinhan orde lama dan orde baru, yang boleh dikatakan dictator.
Didalam Negara yang demokrasi sekarang pers berperan dalam jalannya langkah Negara, pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik jurnalistik , tapi dewasa ini sering terjadi penyalah gunaan hak-hak yang dimiliki oleh pers sebagai alat control tersebut, sehingga malah merusak tataran demokrasi, jadi banyak permasalahan yang timbul dari segi hokum sebagai satu-satunya pegangan pers dalam menjalankan tugasnya disamping adanya kode etik sebagai suatu bagian organisasi independen.
pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik jurnalistik. Ingatlah, fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No 40 Tahun 1999, mengatakan bahwa:
(1) Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah,
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab,
(3)Pers wajib melayani hak koreksi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pers nasional dalam menyiarkan informasi dilarang keras membuat opini atau menyimpulkan kesalahan seseorang, terlebih jika kasus yang diliput itu masih dalam proses peradilan. Penyiaran informasi itu harus berimbang dari sumber berita pihak terkait dan sesuai dengan fakta yang terungkap di lapangan. Konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut akan berdampak, selain merugikan hak asasi orang lain juga merusak nama baik perusahaan pers tersebut. Jika hak orang lain dilanggar, orang yang dirugikan itu bisa dendam atau berdampak negatif terhadap pers. Nah, inilah salah satu penyebab mengapa sering terjadi kekerasan terhadap pers.
Terkecuali, ketika pers meliput berita aktual pihak terkait mencoba menghalang-halangi pemberitaan pers bahkan sampai mengancam pers, karena takut terbongkar skandal yang diperbuat, sesuai pasal 18 ayat (1) UU Pers, seseorang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindak- an berakibat menghambat pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) dan (3) yaitu melakukan penyensoran, pemberedel- an atau pelarangan penyiaran serta membatasi kemerdekaan pers, mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan dan informasi, dipi- dana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Dewasa ini, saat gencarnya pemerintah memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, kehadiran pers sangat dibutuhkan untuk menginformasikan berita yang benar, jujur dan adil. Namun, dalam prak- tiknya, pers sering memojokkan kesalahan seseorang, yang sebenarnya belum tentu bersalah,jadi disini jelas perannan pers tersebut haruslah berlandasan hokum dan berlandaskan demokrasi yang berdasarkan Undang-undang, jadi adanya demokrasi bukan hanya memberlakukan kebebasan yang sewenang-wenang terhadap pers yang menjalankan tugasnya. Bahkan pers sekarang, terlalu brani sampai-sampai, mengganggu hak pribadi orang lain sebagai manusia, termasuk kepada hal-hal yang menurut kelayakan atau kesopanan tidak baik disiarkan secara terlalu terbuka
Terkadang ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, akhirnya yang bersangkutan dianggap publik bersalah. Ini merupakan pelanggaran hukum “asas praduga tak bersalah” seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers. Padahal, seseorang itu baru dianggap terbukti bersalah, jika telah divonis bersalah oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incrach van gewijde). Terjadinya sengketa pers, biasanya karena pemberitaan pers melukai perasaan orang lain. Sekalipun redaksi bertanggung jawab dan berhak memuat suatu berita, ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, hingga memeti-eskan suatu tanggapan berita. Ketika diadakan hak jawab atau hak koreksi, pihak pers tak berkenan melayaninya.
Mestinya, jika ada pihak terkait menanggapi suatu pemberitaan, penulis meminta pers terbuka, menerima dan memuat beritanya, sekaligus meminta maaf seperti yang pernah dilakukan oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) surat kabar Sinar Indonesia Baru (SIB) Dr GM Panggabean mengenai “karikatur nasib suar-sair” dan permintaan maaf Pemred surat kabar Denmark Jyllands-Posten: Carsten Juste, Senin (30/1) atas penerbitan kartun Nabi Muhammad yang memancing kemarahan muslim di seluruh dunia, sehingga persoalan demikian tak perlu diselesaikan secara pro-yustisia hingga ke pengadilan. Cukuplah diselesaikan lewat klarifikasi pemberitaan sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers. Akan tetapi, jika perusahaan pers tak mau melayani hak jawab maupun koreksi tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugatnya secara perdata menggunakan UU Pers, dengan hukuman denda paling banyak Rp 500 juta. Jadi kalau ada kasus seperti ini masuk ke pengadilan menggunakan aturan KUHP bahkan diputus hakim berdasarkan pasal 310 atau 311 KUHP, aparat penegak hukum yang me- nangani kasus ini sangat keliru menggunakan payung hukum KUHP.
Karena fungsi pengadilan adalah untuk memeriksa, menerima dan mengadili perkara, maka solusinya: pertama, setiap perkara yang menyangkut sengketa pers yang diajukan oleh penyidik kepolisian dan penuntutan kejaksaan ke pengadilan harus memperhatikan secara hati-hati fakta yang terjadi. Jika perbuatan itu dilakukan secara langsung menghina seseorang tanpa pemberitaan pers, gunakanlah KUHP. Tetapi jika perbuatan penghinaan itu dilakukan secara tidak langsung, artinya lewat pemberitaan pers, gunakanlah UU Pers. Kedua, jika sengketa pers tersebut tetap diajukan kejaksaan ke pengadilan menggunakan Pasal 310 (2) KUHP, hakim sesuai wewenangnya pada pasal 144 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebelum perkara tersebut disidangkan dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar mengganti atau merubah dakwaan dari pasal KUHP menjadi pasal yang terdapat didalam UU Pers.
1.2. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang masalah di atas maka dalam hal praktek dan masalah hukum dewasa ini perlu dikaji beberapa permasalahan yang perlu dikaji sebagai berikut:
1. Bagaimanakah praktek hukum, demokrasi dan kebebasan pers berjalan di Negara Indonesia dewasa ini?
2. Apasajakah permasalahan yang timbul akibat kebabasan pers di negara yang demokrasi dan berlandasan hukum seperti di Indonesia dewasa ini?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PRAKTEK HUKUM, DEMOKRASI DAN KEBEBASAN PERS BERJALAN DI NEGARA INDONESIA DEWASA INI
Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat, namun kebebasan tersebut harus pula diukung dengan ketentuan hukum yang jelas yang memberikan kebebasan kepada pers, termasuk kepada pembatasan hak-hak pers yang dapat mengganggu hak hak individu maupun institusi yang berhubungan dengan pers, termasuk kepada bagian dari jabatan didalam suatu Negara, sehingga perlu adanya kerahasiaan pada urusan-urusan Negara yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh masyarakat karena dikhawatirkan akan menimbulkan kecemasan bagi rakyat, maka pers juga harus menjaga informasi itu.
Peran besar ini memang membutuhkan sejumlah prasyarat. Di antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal –tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional. Sangatlah tepat jika wartawan senior yang juga mantan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mokhtar Lubis, menyatakan, “Kemerdekaan pers merupakan satu unsur di dalam peradaban manusia yang maju dan bermanfaat tinggi dan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan jika kemerdekaan pers itu tidak ada, maka martabat manusia jadi hilang.” Namun apakah kebebasan pers yang terlallu brani ini yang dikatakan demokrasi?, terlalu brani dalam arti bahwa pers dalam menjalankan ha-haknya perlu menjunjungtinggi hak-hak orang lain maupun intitusi pemerintahan. Karna apabila pers terkesan ikut campur atau intimidasi terhadap suatu keputusan yang dijalankan pemerintah, juga dapat menghambat kerja pemerintah, dan pemerintah dalam menjalankan tugasnya akan juga ragu-ragu dan akan berdampak kepada rakyat banyak, sehingga hal ini juga sangat bertentangan dengan Undang-undang dan hukum yang juga harus di junjung tinggi oleh pers.
Kemerdekaan pers masih menjadi barang mahal di Indonesia, penggunaan KUHP untuk “menghukum” pers masih terjadi setidaknya hingga akhir tahun 2006. Meski Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa pemidanaan terhadap pers bukan memperkuat pers bebas melainkan justru mengancam pers bebas, akan tetapi para pihak yang tidak menyukai kemerdekaan pers masih memilih penggunaan “delik pers” dalam KUHP dan mengirimkan jurnalis ke penjara. Istilah delik pers sendiri sebenarnya bukan merupakan terminologi hukum, melainkan hanya sebutan umum atau konvensi di kalangan masyarakat, khususnya praktisi dan pengamat hukum, untuk melakukan penamaan pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan pers. Delik pers sendiri bukanlah suatu delik yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari delik khusus yang berlaku umum. Karena yang sering melakukan pelanggaran atas delik itu adalah pers, maka tindak pidana itu dikatakan sebagai delik pers.
Dalam konteks pembaharuan hukum pidana di Indonesia, komunitas pers menuntut dicabutnya berbagai delik pers dalam hukum pidana di Indonesia. Seperti diketahui, saat ini pemerintah mengajukan revisi KUHP. Rancangan KUHP tersebut sudah selesai dan kini dalam proses diajukan ke DPR. Komunitas pers menilai, R KUHP ini lebih buruk dibanding KUHP yang berlaku sekarang. Sebab, tak kurang dari 61 pasal dalam RUU KUHP tersebut diindikasikan kuat akan membatasi dan mengekang kemerdekaan pers. Padahal, dalam KUHP, pasal semacam ini hanya 37 pasal.
Hukum pidana yang bertujuan untuk melakukan serangkaian pembatasan yang bertujuan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum. Akan tetapi reformasi hukum pidana yang hendak diwujudkan melalui Rancangan KUHP setidaknya harus memperhatikan beberapa hal yaitu: Apakah pembatasan yang dilakukan untuk melindungi kepentingan yang sah, Apakah pembatasan benar-benar dibutuhkan untuk melindungi kepentingan tersebut, Apakah pembatasan dilakukan dengan rumusan yang jelas. Dengan melalui penilaian di atas maka Rancangan KUHP ini diindikasikan akan mengancam kemerdekaan pers karena tak kurang dari 61 pasal dari R KUHP ini yang mempunyai potensi untuk digunakan para pihak yang tidak menyukai kemerdekaan pers untuk membungkam pers.Indikasi ini tentunya tidak hanya berdasarkan prakiraan semata tetapi juga berdasarkan berbagai pengalaman empiris dari pergulatan antara kemerdekaan pers dan proses pemidanaan melalui KUHP yang telah terjadi selama ini
Pertanyaan-pertanyaan diatas jelas bahwa adanya pembatasan pers untuk melindungi kepentingan yang sah, kepentingan yang sah dalam hal ini misalnya terhadap informasi yang berhubungan dengan rahasia Negara yang diatur didalam rancangan undang-undanga rahasia Negara, didalam rancangan Undang-undang rahasia negara pemerintah melalui Departemen Pertahanan menuai kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya RUU yang kontroversial ini dianggap akan menghambat proses pembentukan pemerintahan yang bersih dan demokratis di Indonesia. Selain itu RUU tersebut juga akan menjadi tembok yang berdiri kokoh terhadap pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Prinsip keterbukaan atau transparansi dan akuntabilitas telah menjadi prinsip universal, yang dianggap sebagai prinsip paling mendasar di dalam mewujudkan masyarakat demokratis. Keterbukaan dalam informasi mempunyai arti yang sangat penting bagi demokrasi. Kebutuhan warga negara untuk mengatahui dan memahami persoalan-persoalan publik sangat penting bagi berjalannya demokrasi. Adanya informasi yang akurat melindungi masyarakat dari analisis yang keliru. Warga negara sangat membutuhkan informasi yang cukup untuk dapat mengungkapkan suara dan kepentingannya dan mengontrol pejabat-pejabat publik.
Di sisi lain pemerintah juga mengakui bahwa keterbukaan informasi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengatasi KKN, penegakkan hukum dan demokratisasi. Jaminan akan keterbukaan atas informasi kepada publik adalah adanya kebebasan untuk memeperoleh informasi. Kebebasan memperoleh informasi tersebut telah dijamin sebagai hak konstitusional dalam pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan itu, Article 19 Universal Declaration of Human Rights dan Article 19 Sec 2 International Covenant on Civil and Political Rights juga memberikan jaminan yang sama terhadap kebebasan untuk memperoleh informasi. Namun demikian apakah kebebasan untuk memperoleh informasi yang dijamin sebagai hak konstitusional itu adalah kebebasan yang sebebas-bebasnya? Bagaimana dengan jaminan terhadap pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis?
2.2. PERMASALAHAN YANG TIMBUL AKIBAT KEBABASAN PERS DI NEGARA YANG DEMOKRASI DAN BERLANDASAN HUKUM SEPERTI DI INDONESIA DEWASA INI
bahwa banyak permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya kebebasan pers ini bila di jalankan seenaknya tampa adanya korelasi dengan hukum dan Undang-undang, kebebasan pers yang bagaimana yang dikatakan sesuai dengan apa apa yang diharapkan dari sebuah kata “demokrasi”, tentunya bukan kebebasan pers yang tidak berlandasan tersebut. Kalau dihat sekarang pers cendrung terlalu berani dalam bertindak, pers terkesan agak arogan dalam mencari berita, asalkan menarik perhatian orang banyak dan menjadi headline dan berita yang hot, tampa mementingkan kepentingan hak asasi seseorqng maupun inttitusi dan merupan permasalah yang dapat dicermati secara hukum dan demokrasi. bahwa keberadaan pers di Indonesia masih jauh dari semangat kearifan lokal Indonesia. Karena masih belum adanya satu kesepahaman tentang wacana demokrasi disemua stakeholders di Masyarakat. Dilanjutkan oleh Sutomo yang mencoba untuk mengupas tentang Kebebasan pers yang yang tetap menghargai adanya hak-hak azasi manusia dan lebih menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Dimana semangat demokratisasi sangtlah penting untuk direalisasikan dalam konteks membangun kesejahteraan masyarakat secara umum. Yaitu adanya sinergisitas dari semua elemen di masyarakat untuk bersama-sama menumbuhkan semangat demokrasi yang yang tetap menghargai adanya hak-hak orang lain. Prinsip-prinsip demokrasi harus dibangun dari semua kalangan, baik di dunia pengusaha, pers, pemerintah maupun di masyarakat itu sendiri. Dalam sistem orde lama dan orde baru pemerintah bersikap represif, menekan rakyat sehingga bukan hanya sekadar kedaulatan rakyat dan asas hukum tidak berjalan, tetapi juga dasar-dasar dan nilai-nilainya yang hakiki seperti maratabat manusia dan hak asasi.
Jika perubahan 1998/1999 lewat gerakan reformasi memiliki komitmen prodemokrasi, promartabat dan hak-hak asai manusia, prokesejahteraan rakyat, hal itu disebabkan oleh telah lahirnya dalam masyarakat indonesia lapisan terdidik yang lebih luas. Ada faktor-faktor lain, di antara nya yang tidak kecil peranan dan pengaruhnya, semakin terintegrasinya perikehidupan Indonesia dengan masyarakat global melalui jaringan ekonomi, informasi, pertukaran ide, dan pengalaman. Proses itu sangat intensif dan transparan sehingga semakin kuat pengaruh interaksinya. Kemajuan di bidang ekonomi, sekaligus diburamkan oleh ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh praktik KKN. Esensinya yaitu disalahgunakna kekuasaan damn ketidakaadilan sosial menyebabkan gerakan reformasi sistem dan pemerintah demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan mayarakat.
Pers independen tidak seharusnya memiliki kepentingan partisan dan ikut berpolitik praktis.Sebagai salah satu penjaga kepentingan dan kesejateraan bersama. Masyarakat pers harus lebih leluasa membangun jrembatan dan forum komunikasi. Sosisalisasi yang sering diistilahkan edukasi, merupakan fungsi pers pula. Sosialisasi amat penting fungsinya karena masyarakat hidup dalam jaman informasi. Sosialisasi ide,visi, agenda, komitmen sangatlah mendesak. Misalnya, setiap orang berbicara tentang demokrasi, apa bentuk dan formatnya. Demokrasi mempunyai prinsip pokok yakni martabat manusia dan hak-hak asasi manusia yang dihormati dan dilindungi tanpa diskriminasi. Demokrsai juga mempunyai hak –hak sipil yang dijamin secara konstitusional, seperti hak kebebasan, hak milik dan persamaaan di depan hukum
Pers sebagai pilar demokrasi menjalankan fungsi dan peranannya untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan yang dengan kepentingan umum. Pers juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, nepotisme, maupun penyelewengan lainnya. Kebebasan pers yang sakarang ini sedang dinikmati sejak reformasi 1998 dianggap sebagai gangguan oleh penguasa, mereka menganggap kebebasan pers telah kebablasan sehingga pemerintah menganggap perlu untuk mengendalikan dan mengontrol kembali kembebasan pers.
Beberapa kebijakan pemerintah sekarang cenderung ingin kembali mengontrol pers. Departemen Komunikasi dan Informasi yang seharusnya berada di garda depan dalam memajukan kebebasan pers jutrus sebaliknya ingin kembali memasung kebebasan pers. Peraturan Pemerintah (PP) dalam bidang penyiaran adalah salah bukti upaya pemerintah untuk mengendalikan dan mengontrol penyiaran Indonesia. Padahal dengan adanya UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diberi tugas dan wewenang untuk mengatur penyiaran di Indonesia. Dengan adanya peraturan pemerintah tersebut pemerintah berupaya untuk mengebiri dan mengkerdilkan keberadaan KPI sebagi satu-satunya lembaga independen yang merupakan wujud peran serta masyakarat di bidang penyiaran. Bentuk intervensi pemerintah lainya dalam upaya mengontrol dan mengendalikan kebebasan pers sekarangan ini adalah upaya pemerintah melalui Depkominfo untuk merevisi undang-undang No. 40/1999 tentang Pers. Melalui usulan revisi tersebut pemerintah ingin mengintervensi kembali kebebasan pers seperti dimasa orde baru dimana pemerintah bisa mengatur, mengontrol sampai pada pencabutan SIUPP.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang saat ini sedang disusun oleh pemerintah menjadi ancaman serius bagi kehidupan pers. hasil riset LBHPers terhadap R-KUHP terdapat 61 pasal yang berpotensi mengkriminalkan pers bahkan hukumannya sampai pencabutan profesi sebagai wartawan. Beberapa pasal anatar lain : penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-Leninisme ( Pasal 212, 213), penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti (Pasal 307, 308), pencemaran nama baik (Pasal 529), fitnah (Pasal 530, 531), tindak pidana pembocoran rahasi negara (Pasal 540 -543), tindak pidana penrbitan dan percetakan (Pasal 737-739), serta pencabutan hak menjalankan profesi tertentu (Pasal 91). Jelas sekali R-KUHP yang sedang disusun merupakan upaya pemerintah untuk mengkriminalisasikan pers. Padahal terhadap karya jurnalistik tidak dapat dipidanakan, undang-undang pers sudah mengatur bagaimana seseorang yang dirugikan oleh karya jurnalistik , ada mekanisme dan prosedur yang harus ditempuh yakni melalui hak jawab, hak koreksi atau mengadukan ke organisasi wartawan atau langsung mengadukan ke Dewan pers . upaya hukum merupakan langkah terkahir bila prosedur penyelesaian sengketa pers dalam undang-undang pers sudah ditepuh, langkah hukum juga tidak bisa memenjarakan wartawan, pers cukup dikenai denda yang proposional bukan denda yang bisa membangkrutkan.
Ancaman terhadap kebebasan pers tidak hanya dalam bentuk regulasi yang bersifat represif namun juga ancaman dalam bentuk tekanan, fisik dan non fisik masih terjadi dibeberapa daerah yang mengancam wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pada hari Kemerdekaan Pers Sedunia, 3 Mei 2007, Lembaga bantuan hukum Pers (LBHPers), Menyampaikan:

1. Menuntut kepada pemerintah untuk mencabut regulasi yang menghambat dan dapat mengancam kebebasan pers di Indonesia. LBHPers mengingatkan jaminan terhadap kebebasan pers merupakan amanat konstitusi (Pasal 28F), Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers, serta telah mendapat jaminan Pasal 19 Deklarasi universal Hak Asasi manusia 1948
2. Menolak pengkriminalisasian terhadap pers. LBH Pers mengingatkan terhadap karya jurnalistik sudah ada aturan hukum sendiri (spesialis) yang mengatur permasalahan pers yakni Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers
3. Menuntut aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim) untuk menggunakan undang-undang pers sebagai lex spesialis dalam menyelesaikan setiap sengketa pers.
4. Menyerukan kepada pihak-pihak yang keberatan / dirugikan isi pemberitaan agar menempuh mekanisme yang tersedia sebagaimana diatur dalam UU Pers No. 40/1999, yakni melakukan hak jawab atau surat protes, mengadukan kepada Dewan Pers, dan organisasi jurnalis.
5. Menghimbau kepada seluruh media massa, jurnalis, organisasi-organisasi pers dan wartawan untuk bekerja bersama-sama secara sistematis memperbaiki kekurangan yang ada dalam internal media massa agar bisa bekerja dengan standar profesional yang tinggi. Hanya dengan standar profesional yang tinggi, kebebasan pers secara jangka panjang akan terjamin.

BAB III
P E N U T U P

3.1. KESIMPULAN


3.2. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
Satjipto Rahardjo, DELIK PERS DAN DUNIA JURNALIS,(Disampaikan pada seminar regional Aliansi Jurnalis Independen di semarang, 12 Sept 2006)
Pasal-pasal Delik Pers, didalam KUHP
Binsar Gultom, Berdayakan Undang Undang Pers untuk Mengadili Delik Pers diambil dari situs www.ham.go.id
Kebebasan Pers Dan Demokrasi diakses pada 29 APRIL 2010 JAM 10.30 WIB, http://id.shvoong.com/law-and-politics/1785814-kebebasan-pers-dan- demokrasi/……………
anggara.blogspot.com , Kemerdekaan Pers Dalam Tinjauan Hukum Pidana diakses pada 29 APRIL 2010 JAM 10.30 WIB
Zenwen Pador,SH, Pelaksanaan Hak Jawab VS Pidana Pers
Ade Armando, Hukum Dan Pers, Aliansi nasional Reformasi KUHP, Seminar Nasional
”Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP“ Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006

Oleh : ARIS IRAWAN.

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 LINGKAR METAPHYSICS. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger